Sunday, May 06, 2007

Logika Spiritual

Dalam sebuah diskusi seputar ijtihad, saya mengutarakan bahwa pada dasarnya dalam beragama kita selalu berijtihad, berijtihad untuk diri sendiri. Untuk berijtihad sesungguhnya kita menggunakan hal utama yang ada dalam diri setiap manusia yaitu otak dan hati. Otak identik dengan logika sementara hati identik dengan keyakinan. Beragama tanpa logika menurut saya suatu penyangkalan terhadap makna diciptakannya kemampuan berpikir oleh Tuhan. Otak merupakan suatu filter awal, tapi hati memiliki tingkatan yang lebih tinggi. Ketika otak dengan segala logika menyimpulkan tentang suatu makna atau tindakan yang berhubungan dengan spiritual, kembalikahlah ke hati untuk memutuskannya.

Saya juga menolak bahwa semuanya harus di logikakan. Ada sisi ibadah yang telah di contohkan Rasulullah saw dan sangat jelas di tulis di Al-Qur’an, menurut saya tidak pantas untuk dilogikakan. Ibadah yang langsung berhubungan dengan Khalik seperti Shalat, puasa dan ibadah haji merupakan area ini. Logika sedikit bisa dilibatkan untuk daerah di sekitar ibadah tersebut, misalnya untuk menelusuri masalah sunnah untuk memanjangkan jenggot, mencukur kunis, berpakaian diatas tumit dan banyak lainnya. Area ini cendrung merupakan area yang berhubungan dengan penampilan seseorang secara fisik. Sedikit hal yang mengganggu saya adalah dimana bagi sebagian orang hal ini menjadi patokan tentang kualitas ke-islaman seseorang (apa anggapan saya saja kali yaa… :D). Seseorang dipandang lebih tinggi keislamannya jika berjenggot, pakai baju gammis. Pengkotakan mulai terjadi, ekslusivisme mulai terbentuk karena bagi sebagian percaya bahwa seorang baik hendaknya bergaul dengan yang baik-baik saja untuk menjaga dirinya. Pengakuan bahwa mereka adalah kelompok yang baik menyebabkan ekslusivisme itu terbentuk. Ujung-ujung dari semua ini adalah dakwah yang tidak tepat sasaran. Dakwah dari yang mengetahui ke orang yang telah mengetahui, hanya dari ‘yang baik’ untuk yang ‘telah baik’ saja, tidak menyentuh kepada sasaran yang seharusnya menerima dakwah. Yang ‘merasa benar’ semakin berada di jalur ‘kebenaran mereka’, sementara yang jelas-jelas tersesat, karena tidak tersentuh, akan semakin tersesat. Apakah ini bentuk hidayah yang ada dalam Al-Qur’an, bahwa mereka yang tersesat adalah mereka yang tidak dibukakan oleh Allah hatinya, menurut saya tidak, tapi lebih karena mereka tidak menerima pencerahan.

Kembali ke tulisan yang berkaitan dengan logika dan hati, adalah ibadah sosial dimana disini logika lebih banyak berperan, karena menurut saya Al-Qur’an dan sunnah dari Rasulullah saw hanya memberikan kerangka. Suatu penggambaran menarik saya dapatkan ketika dulu Yusril Ihza Mahendra memberikan ceramah ramadhan di masjid Salman ITB Bandung jauh sebelum beliau terlibat di dunia politik, dimana beliau menggambarkan hal ini sebagai suatu lukisan dengan bingkainya, agama itu hanya memberikan bingkai, sebagai suatu batasan, sementara kita manusia boleh melukis segala sesuatu asal tidak keluar dari bingkai. Disinilah, jalan seseorang dalam ibadah sosial bisa berbeda-beda, selama tidak keluar dari kaidah agama. Tidak ada suatu jalan yang baku yang harus diikuti semua orang dalam ibadah sosial, tidak ada pembenaran satu jalan, setiap orang bebas mengekspresikan diri masing-masing. Sebagai contoh, agama mengatakan bahwa sesuatu perbuatan yang diharamkan tidak boleh digunakan untuk tujuan kebaikan, seseorang yang menghidupi keluarganya dengan uang hasil korupsi, memberi nafkah merupakan salah satu ibadah sosial, tetapi dari hasil korupsi merupakan suatu cara yang salah, yang telah melewati bingkai. Bukankah banyak cara lain untuk memberi nafkah, banyak cara tersebut sebagai kebebasan berekspresi dalam beribadah.

Satu yang jadi catatan disini adalah dimana bingkai tersebut biasanya sangat tipis, bingkai tersebut akan lebih jelas jika hati dilibatkan. Disinilah dalam beribadah, logika pun tidak bisa di biarkan sendiri, hati merupakan tingkatan tertingginya. Kebenaran abadi sesungguhnya ada di dalam hati demikian para sufi beranggapan. Sufi sering menggambarkan hati itu seperti sebuah cermin, dimana pantulan Allah ada didalamnya. Jika cermin itu bersih kita bisa melihat pantulan Allah, tetapi jika hati tersebut kotor, kita tidak akan dapat melihat pantulan ‘Kebenaran’, bagaimana kita bisa bertanya ke hati, sementara hati memberikan pantulan (jawaban) yang salah. Hal-hal yang mengotori hati yang biasa disebut sebagai ‘penyakit hati’ tersebutlah yang harus selalu dibersihkan. Sifat ria, sombong, iri dan lainnya merupakan debu-debu yang menutupi cermin kita untuk mendapatkan jawaban kebenaran melalui hati.

Terakhir, aktualisasi spiritual dengan memperbaiki cara dan kualitas ibadah merupakan suatu keharusan. Keterbasan pengetahuan, kekurangan keimanan, banyaknya dosa-dosa yang menutupi hati menyebabkan kebenaran dalam beribadah yang kita yakini sekarang belum tentu merupakan suatu ibadah yang sudah benar adanya. Zaman yang berubahpun, menuntut kita untuk merekstruturisasi ibadah sosial kita. Islam merupakan agama yang agile, mungkin kitalah yang membuatnya tidak agile, wallahu’alam ☺

(Mohon koreksi karena kebenaran datangnya dari Allah, dan kesalahan dari diri saya sendiri. Apalagi tulisan ini adalah karya otak yang sangat mungkin salah dan bias oleh hati yang masih kotor)

No comments: